Sejarah perkembangan Nusantara terus berlanjut hingga hari ini. Setelah terjadi perubahan kondisi masyarakat dari peralihan Majapahit ke Kasultanan Demak hingga munculnya Mataram Islam banyak menyisakan tanda tanya khususnya para anak turunnya yang memang tersebar secara luas baik di Pulau Jawa maupun seluruh Indonesia.
Ada banyak sekali bukti yang bisa kita lihat, khususnya di sepanjang wilayah pesisir selatan tanah Jawa Mulai dari Ponorogo (Bumi Wengker) Pacitan Wonogiri Sukoharjo Gunung Kidul hingga ke Jogja. Ada saling keterkaitan karena memang setelah runtuhnya Majapahit anak anak dari Brawijaya V banyak menyingkir ke selatan
Salah satunya yang sekarang dikenal dengan nama Taruwongso Sukoharjo merupakan salah satu dari anak Brawijaya V yaitu Joko Tawangsari, kemudian adapula makam Ki Ageng Majasto yang juga masih terkait. Ada pula makam Prawoto Sidik yang tak lain adalah Kebo Kanigoro yang menjadi tujuan pelarian Joko Tingkir saat bermasalah dengan Sultan Demak ( Babad Tanah Jawi).
Kali Dengkeng yang menjadi pemersatu dari anak trah Brawijaya V merupakan saksi dari sebuah pelajaran hidup mengenai kebersamaan dalam satu rasa.
Kemudian setelah Demak selesai muncul Kraton Pajang dengan Joko Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya hingga akhirnya berpindah ke Mataram oleh anak angkatnya Sutawijaya. Perjalanan Joko Tingkir saat merasa bersalah ketika tanpa sengaja membunuh salah seorang calon taruna kerajaan Demak memaksanya untuk keluar dan pada akhirnya mendapatkan wangsit untuk mencari saudara ayahnya yaitu Kebo Kanigoro yang tak lain adalah Kyai Purwoto Sidik yang berada di Banyu Biru Weru Sukoharjo. Setelah menimba ilmu dari beliau sesuai dengan pesan yang diamanatkan yaitu disuruh kembali ke Demak melalui jalur sungai dari hulu Kali Dengkeng hingga memasuki Bengawan Solo. Selama perjalanan banyak kisah dan cerita seputar perjalanan Joko Tingkir ini antara lain yang mungkin sudah anda baca atau dengar mengenai pertempuran Joko Tingkir melawan Ki Bahurekso Siluman Buaya Putih penunggu wilayah Bengawan Solo di Butuh Sonorejo.
Satang atau dayung Joko Tingkir yang dibuang setelah memenangkan duel tersebut akhirnya tumbuh menjadi pohon dan berbunga indah sehingga menarik hati Raja Surakarta waktu itu dan menamakan tempat tersebut dengan nama Sonorejo (dari kata Sono berarti bunga dan rejo berarti ramai).
Setelah era Pajang selesai masih berlanjut dengan munculnya Pangeran Samber Nyawa yang tak lain juga merupakan salah satu keturunan Joko Tingkir dari Dyah Banowati dan Raden Mas Jolang (putra Mataram) hingga ke Arya Mangkunegara Kartusura. Pangeran Samber Nyawa atau dikenal dengan nama Raden Mas Said merupakan cucu dari Amangkurat IV raja Mataram, karena adanya polemik serta campur tangan VOC di lingkungan Mataram maka terjadilah sebuah tragedi dimana Arya Mangkunegara diasingkan hingga ke Sri Langka. Hal inilah yang pada akhirnya memicu semangat juang RM Said untuk melawan kesewenangan VOC Belanda yang terlalu ikut campur dalam wangsa Mataram. Bagi warga Sukoharjo tentu tidak asing dengan sepak terjang Pangeran Samber Nyawa khususnya wilayah Sukoharjo Selatan yang menjadi salah satu wilayah perjuangan beliau hingga berhasil membuat VOC Belanda kewalahan dan mengangkat beliau menjadi salah satu Adipati yang sejajar dengan Raja di waktu itu dengan wilayah kekuasaan yang membentang dari Karanganyar, Wonogiri, Gunung Kidul dan Kedu.
Setelah era Mangkunegara muncul kemudian Perang Besar Jawa yang dipelopori Pangeran Diponegoro melawan VOC Belanda. Perang terbesar melawan VOC Belanda ini berlangsung antara tahun 1825 hingg 1830, walaupun terhitung singkat selama 5 tahun namun Perang Diponegoro merupakan perang terbesar dalam sejarah di Pulau Jawa bahkan hingga mencapai kerugian yang dasyat mengurangi populasi rakyat Jawa hingga separuhnya. Tak luput VOC Belanda pun mengalami kerugian yang besar pula termasuk matinya beberapa jendral di kalangan VOC Belanda.
No comments:
Post a Comment